Menjadi janda itu tak mudah, bahkan untuk sekedar
mengucapkan “ aku janda” membutuhkan persiapan mental dan proses waktu
yang lama. Sejak suami meninggal di awal tahun 2016 yang lalu, otomatis bagi
istri yang kehilangan suaminya akan disebut janda, seperti halnya anak yang
kehilangan ayahnya disebut yatim. Tapi bagiku, kata janda adalah momok yang
menakutkan dan terdengar seperti aib. L
Sesungguhnya siapa yang berharap menjadi janda? Tidak ada!. Aku
yakin bahwa setiap perempuan yang berniat menikah atau sudah menikah, berharap
akan mampu bersama pasangannya sampai tua, merawat anak-anak hingga mereka
tumbuh dewasa atau jika harus meninggal dunia terlebih dahulu, biarlah istri
yang lebih dahulu meninggal. Agar status janda tidak melekat pada seorang
perempuan.
Para istri yang kehilangan suaminya karena cerai mati
ataupun cerai hidup, lebih suka melabeli diri dengan sebutan single mama, single mother atau orang tua tunggal. Kata janda bila diucapkan
terdengar seperti kata yang langsung berbau negatif. Jika diucapkan oleh
perempuan sepertinya ada kesan dia sedang terancam dengan keberadaan janda,
takut karena suaminya digoda atau direbut oleh janda tersebut. Ini sesama
perempuan lho, yang katanya diharapkan bisa saling memahami akan tetapi
ternyata bisa saling menyakiti.
Kata janda bila diucapkan oleh pria bisa lebih sadis lagi
maknanya. Seperti bisa direndahkan, bisa diajak berbuat asusila dan seperti makna-makna
buruk lainnya. Para pria beranggapan, perempuan yang pernah menikah dan tentu
saja pernah merasakan manisnya berhubungan suami istri, akan tetap membutuhkan
kebutuhan biologis tersebut. Karena tidak ada lagi suami, janda membutuhkannya
dari pria lain. Maka dalam anggapan pria, para janda ini kesepian, haus kasih
sayang dan butuh pemenuhan kebutuhan biologis dari pria lain.
Menjadi janda itu bukan hal yang mudah, selain menghadapi pandangan
masyarakat yang berkesan negatif harus berjuang seorang diri untuk membesarkan
dan merawat anak-anak mereka. Apalagi jika menjadi janda karena perceraian akan
mendapatkan cap buruk karena yang disalahkan adalah pria istri, seperti kenapa
suaminya tergoda perempuan lain, tidak bisa memuaskan suami, tidak bisa merawat
dirinya, tidak bisa mempertahankan rumah tangga dan lain sebagainya. Janda karena
perpisahan di pengadilan agama tetap saja berat dan harus berjuang agar bisa
bangkit kembali.
Aku kemudian berharap jika saya kita semua-terutama muslim-
dapat meneladani sikap Nabi Muhammad SAW dan para sahabat dan sahabiyah
terhadap status janda seorang perempuan. Tidak ada yang mengolok-olok status
janda Ibunda Khadijah sebelum dan saat menjadi istri Nabi. Tidak ada yang
menggoda, merayu dan melecehkan para janda ketika suami mereka gugur saat
jihad. Lalu para sahabat di masa Nabi ini akan menikahi para janda tersebut
untuk menanggung kebutuhannya.
Barangkali harapanku terlalu tinggi agar masyarakat sekarang
ikut meneladani sikap Nabi dan para sahabat. Angan-angannku terlalu berlebihan.
Semoga saja tidak ada yang berpandangan buruk terhadap janda bagi para
perempuan dan bagi para pria tidak ada yang memanfaatkan hal ini untuk tipu
daya dan kesenangan mereka.
Semoga...
#onedayoneposting
#bloggermuslimahindonesia
Ya, Mbak. Aku merasakannya amat berat. Bahkan, teman sendiri tega menggoda. Emang gue perempuan apaa? *gemas* Tapi ya semua itu susah dihilangkan. Lha gimana coba?Faktanya, banyak janda yg emang mskun mngukuhkan diri sebagai sosok penggoda. *gemeslagi*
BalasHapusTapi, kalau boleh berpendapat, tergantung lingkungan juga. Bila lingkungan tempat tinggal atau tempat kerja adalah orang-orang yang menjaga diri dengan baik, biasanya dengan janda juga sangat hormat, sebagaimana sikap hormat kepada anggota masyarakat lainnya.
BalasHapusMasya Allah, memang sepatutnya kita mencontoh Rasulullah dan para sahabatnya ya dalam memperlakukan orang lain..
BalasHapusTerima kasih informasinya, menggugah perasaan banget...
BalasHapusBagaimana kalau mencarikan suami baru untuk mereka ya ?:)
Terima kasih