“Apa kabar Ra? Aku mengetikkan huruf demi huruf di media messengerku, dengan namamu sebagai penerima. Sapaan pembuka menanyakan kabarmu. “lama kau tak menyapaku. Aku rasa aku sedang merindukanmu. Setahun yang lalu, tepat dihari ini aku mengingat pertengkaran hebat kita. Jika sepasang kekasih bertengkar dan mereka tak saling berpisah, itulah tanda mereka saling mencintai. Saat itu aku mengamini pernyataanmu” Aku menghela nafas panjang, mengenang kembali di hari yang sama, aku menangis karena aku merasa dibohongi.
“Ra, apa kau tahu dimana benci dan cinta itu tumbuh. Aku kasih tahu ya, tempatnya ada di hati. Jadi bisa saja keduanya nanti saling bergantian datang atau bahkan hilang. Aku pernah mencintaimu dengan segala luka dan masa lalumu. Aku pikir, hanya aku yang mampu menerimamu dan mencintaimu. Tapi nyatanya bukanlah aku. Ra, apa kau tahu, aku mencintaimu bagai rakyat yang mendengar titah rajanya, kata-katamu adalah segalanya. Aku patuhi. Ra, aku mencintaimu bagai seorang anak kecil yang percaya pada ibunya. Ketika sang ibu mengatakan anakku paling cantik di seluruh semesta, maka putri kecilnya dengan mata bersinar bahagia akan percaya. Di hatiku juga sama, mengira kau tak mampu berkata dusta.
“Lalu rasa benci itu datang memporak-porandakan harapan dan impianku. Aku membencimu bagai iblis membenci Adam dan Hawa. Iblis diusir dari Surga, maka Adam juga harus merasakan hal yang sama. Aku sakit hati, lara dan terpuruk maka kau harus merasakan h yang sama. Aku membencimu dengan energi yang lebih besar ketika aku mencintaimu. Akupun lelah kemudian menyerah”.
“Ra, apa kau tahu bahwa sekarang aku sudah tak bisa lagi mencintai dan membencimu. Aku bukannya perempuan tanpa perasaan atau perempuan yang hatinya hambar. Aku justru merasakan hatiku dipenuhi banyak cinta. Sesak, hingga kau tak mendapatkan bangku kosong di dalamnya. Cinta yang tulus dari orang-orang yang hatinya digerakkan oleh Sang Pemilik Jiwa untuk menyayangiku.”
“Ra...berulang kali aku mengucapkan kata perpisahan dan aku berharap ini adalah terakhir kali.” Aku menekan tombol “send”. Pesanku terkirim.
Ra, seorang pria yang tengah memacu mobilnya di jalan tol Banyumanik-Ungaran dengan kecepatan tinggi, menoleh ke arah smartphone ketika mendengar nada whatsapp masuk. Nada yang sudah disetel khusus ketika ada pesan dari seorang perempuan bernama Hapsari. Ra menggapai smartphone yang tergelak di kursi di sebelahnya. Meleset, dan jatuh di bawah kursi. Ra menunduk berusaha meraihnya, konsentrasinya pecah. Mobil oleng dan menabrak pembatas jalan tol. Terjun bebas dari jembatan Gedawang setinggi 470 meter.
Hiks... Hiks... Matikah?
BalasHapus